Lengkung Romanesk di Ujung Karangasem





Taman Ujung dilihat dari bagian atas
Taman Ujung  Karangasem, merupakan salah satu kawasan wisata andalan Karangasem. Sebuah taman air, yang mengandung sisa-sisa kemegahan masa lalu, dan eksotisme pemandangan yang sulit ditemukan di tempat lain. Lokasi Taman Ujung  ini, hanya sekitar 8 kilometer dari kota Amlapura, dan 85 kilometer dari kota Denpasar.
Taman Ujung  ini dibangun pertama kali oleh Raja Karangasem A.A. Gde Djelantik pada tahu 1902. Ketika itu, yang dibangun hanya kolam Dirah yang terletak di bagian selatan. Pembangunan berikutnya dilanjutkan pada masa pemerintahan raja A.A. Bagus Djelantik, hingga tahun 1920. Pada awalnya, Taman Ujung  ini, digunakan sebagai tempat peristirahatan raja, dan menjamu tamu-tamu penting kerajaan. Pada masa perang dunia ke-2, tempat ini dirusak oleh angkatan perang Jepang, dan dialihfungsikan untuk keperluan militer. Jeruji-jeruji besi yang ada dikawasan taman dicabut.
Kerusakan Taman Ujung  tak hanya berakhir oleh Jepang. Letusan Gunung Agung yang terjadi pada tahun 1963 dan gempa bumi Seririt tahun 1976, semakin memporak porandakan Taman Ujung. Kemegahan dan keindahan Taman Ujung  menjadi puing-puing masa lalu.

Membangun kembali kemegahan masa lalu
Mulai tahun 1998, pemerintah kabupatan Karangasem, bersepakat dengan pihak puri untuk membangun kembali Taman Ujung, sebuah peninggalan masa lalu yang terlalu sayang diabaikan.  Upaya perbaikan pada tahun 1998 merupakan tahap pertama. Tahap kedua, dilakukan pada tahun 2000. Pihak pemerintah kabupaten menyediakan dana sebesar 2 miliyar. Dana itu tentu saja tak cukup untuk melakukan perbaikan secara maksimal. Karenanya, pemerintah juga mengadakan kerja sama dengan Cultural Heritage Conservation. Kini, 6 tahun telah berlalu, setelah Taman Ujung  diperbaiki, kemegahan itu tidak lagi terlihat sebagai puing-puing masa lalu. Kemegahan itu telah menyisakan dirinya untuk generasi sekarang juga yang akan datang.
Sebagai objek wisata andalan Karangasem, objek wisata Taman Ujung terus dikembangkan. Bukan saja penataan dan perawatan di areal taman, melainkan diluar, seperti tempat parkir, dan papan penunjuk untuk mencapai Taman Ujung  yang dipajang di tepi-tepi jalan.

Menapak taman
Berkat papan-papan petunjuk perjalan menuju ke Taman Ujung, perjalan kami siang itu terasa tak terlalu sulit. Kami hentikan perjalan ketika di tepi kiri jalan terlihat gerbang besar dengan tulisan TAMAN SOEKASADA. Di depan gerbang itu terdapat dua buah patung yang merupakan salah satu ikon Hindu-Bali di sisi kiri dan kanannya.  Inikah Taman Ujung ? pikir saya. Mengapa pintu gerbang yang sedemikian megah tergembok dan tampak tak terawat. Tanaman liar yang tumbuh dengan bebas mengatakan itu. Dibalik gerbang, 12 buah pilar beton berukir dan berwarna putih, dengan lumut yang menyelimutinya berdiri angkuh di atas lantai berbentuk persegi, setinggi satu meter di atas tanah, seperti bekas bangunan yang kini telah tak berfungsi lagi.

Bagian atas pilar-pilar yang terletak di pinggir, disatukan oleh tembok melengkung, bergaya Romanesk layaknya bangunan-bangunan kuno di Eropa. Pada tembok yang menghubungkan pilar satu dengan pilar yang lain,  terdapat ukiran kepala singa yang terbuat dari batu cadas putih. Tangga putih yang menghubungkan tanah dan lantai tampak masih utuh. Satu meter dari tangga itu, terdapat sebuah bekas kolam, berbentuk lingkaran namun terbelah oleh jalan menuju gerbang yang terkunci rapat. Pertanyaan saya yang tak terucap, terjawab setelah saya melanjutkan perjalan beberapa puluh meter ke selatan. Tampak tiga buah kolam besar dangan bangunan-bangunan yang megah diatasnya. Rumput-rumput hijau dan tanaman hias berukuran besar dan kecil menghiasi tempat itu. Agak jauh, di atas bukit, terdapat patung besar menyerupai badak yang memuntahkan air dari mulutnya, dibawahnya juga ada patung yang menyerupai kepala penyu, dan yang paling bawah,  patung lembu yang juga memuntahkan air menuju kolam dibawahnya. Pemandangan yang sangat indah. Pasti, inilah Taman Ujung.  Reruntuhan bangunan yang ada dibalik gerbang terkunci tadi adalah salah satu bagiannya. Untuk bisa menikmati taman ini, tentu tak cukup melihat dari luar saja.
Untuk masuk ke kawasan taman, kita terlebih dahulu harus membeli tiket di loket, yang terletak di depan pintu masuk taman, tak jauh dari tempat parkir. Biaya masuk, antara orang lokal dalam artian masyarakat Bali, berbeda dengan witawan asing yakni Rp. 3.500, untuk orang Bali, dan Rp 10.000,00 untuk wisatawan asing. Hanya saja orang lokal tak akan memperoleh tiket masuk layaknya tamu-tamu yang membayar Rp. 10.000,00. Untuk mencapai taman, kita harus melewati sebuah jembatan kecil khusus pejalan kaki. Jembatan itu dipagari dengan tembok setinggi satu meter. Di atas tombok itu berjejer tanaman hias dan patung.
Angin siang itu menghembuskan kesejukan, ketika kami masuk ke taman. Rumput hijau membentang di pinggir jalanan taman. Di kolam, ikan-ikan  berkejaran, sesekali menabrak batang teratai, hingga capung yang tengah istirahat pada bunga teratai itu, terbang mencari teratai mekar lain, tempatnya mengkuncupkan sayap. Sebuah perahu, biru berpadu kuning dan merah ditambatkan di bagian tepi kolam. Tampaknya sudah cukup lama tak digunakan. Sampah plastik dan kaleng minuman pocari sweat mengambang pada bagian dalam perahu. Tak lama setelah bunyi crek dari kamera saya, datang seorang lelaki setengah baya, memindangkan perahu, membuatnya lebih rapat ke bagaian tepi kolam sehingga lebih mudah dibersihkan. Selesai dibersihkan perahu itu di dayung ke bagian tengah kolam. Kini lelaki itu, tampak sibuk mengais gang-gang yang tubuh subur di kolam. Belum rasanya puas menikmati pemandangan kolam, sudah ada hal lain yang menarik untuk dinikmati.
Di tengah kolam itu, terdapat tiga buah bangunan yang berjejer vertikal dari arah utara ke selatan. Ketiga bangunan itu dihubungkan oleh jembatan kecil. Dua bangunan kecil, yang ada di tepi kolam mengapit bangunan besar yang ada di tengah-tengah. Bangunan-bangunan kecil itu, berfungsi sebagai pintu masuk menuju bangunan yang lebih besar. Masuk dari arah utara, dua buah patung, khas Hindu-Bali, menyambut di sebelah kiri dan kanan. Di bawah patung itu terdapat semacam prasasti. Balai Gili Kambang, demikian yang tertulis disana. Untuk mencapai lantai bangunan itu, kita mesti menapak lima buah anak tangga. Ketika masuk ke bagian dalam bangunan, pandangan akan disibukkan dengan berbagaimacam ukiran yang menempel pada dinding-dinding bangunan. Seluruh bagian bangunan itu berwarna putih. Kecuali jeruji pada-jendela-jendela besar yang berwana hitam. Selanjutnya, kita akan melewati jempatan kecil. Kali ini berbeda dengan jembatan yang ada ketika baru masuk kawasan taman. Perbedaannya tampak pada gapura-gapura putih berjejer, diatas tembok-tembok tepi jembatan. Agak berbeda dengan ruangan kecil tadi, ruangan yang ditengan jauh lebi luas. Pada dinding, terpajang foto raja beserta keluarga dan peta taman. Balai Gili Kambang dibagi menjadi beberapa ruangan, dinantaranya ruang tidur raja, ruang keluarga, ruang tidur putra raja dan ruang pengobatan. Ruang-ruang itu tertutup rapat dan tidak dibuka untuk pengunjung. Ketika keluar dari arah selatan, tampak pemandangan sama dengan ketika masuk. Jembatan dengan gapura-gapura dan bangunan kecil di bagian tepi kolam.
Bagain selatan Balai Gili, juga terdapat sebuah kolam dengan bangunan mengambang ditengahnya. Gaya arsitektur bangunan ini tampak berbeda dengan Balai Gili. Bentuknya sangan khas Bali. Berbeda dengan Balai Gili yang merupakan perpaduan Seni arsitektur Eropa dan Bali. Bangunan ini bernama Balai Wantilan Kambang. Nama itu sangat khas Bali. Mengingatkan kita pada salah satu model bangunan yang terdapat pada tiap banjar atau pura-pura. Bangunan yang khusus diperuntukkan bagi pementasan atau rapat-rapat terbuka bagi warga desa. Sebelum mencapai bangunan itu, kita harus melewati sebuah bangunan kecil yang terbuka. Atapnya hanya tidopang oleh pilar-pilar kayu coklat, memperlihatkan keperkasaannya menahan beban itu. Jempatan kecil yang sama dengan di Balai Gili menghubungkan bangunan kecil itu dengan Balai Wantilan Kambang. Bangunan Wantilan Kambang, tak berdinding. Hanya ada pilar-pilar kayu berwarna coklat yang menopang atap genting itu. Lantainya bertingkat. Pada bagian tengah, lantai dibuat lebih tinggi. Tak ada ukiran atau lukisan sebagai penghias.
Dari Wantilan Kambang, di bagian utara, tepatnya di atas bukit tampak bangunan-bangunan beratap genting colat berjejer. Tampaknya, pembangunannya belum selesai. Menerawang lagi keatasnya, tiga buah patung bertingkat, memuntahkan air, semacam pancuran bertingkat. Paling atas adalah patung badak, yang disebut sebagai warak. Di bawahnya patung kepala penyu dan paling bawah patung lembu. Untuk mencapai tempat patung warak, kita harus sedikit mendaki, menapaki jalan dan tangga-tangga yang tampak kurang terawat dan jarang dilalui, meski masih cukup bagus.
Sebelum sampai, balai bengong berukuran cukup besar telah disiapkan, tempat beristirahat dan melihat pemandangan. Pemandangan taman yang asri, laut yang terbentang tanpa batas, dan perbukitan yang mengijau. Angin berdesir, menerbangkan keletihan bersamanya. Kaki tak akan mampu tertahan lebih lama untuk diam, menahan hasrat keingin tahuan dan penikmatan atas keindahan yang lebih besar di puncak sana. Dari balai bengong, patung warak berjarak hanya sekitar seratur lima puluh meter. Perjalan yang tak akan terasa, karena mata tak akan pernah puas menatap hemparan hijau, sawah-sawah dan bukit, yang terbentang di bagian timur. Sesekali ketika membalikan tubuh untuk sekadar membuang nafas, akan tampak lagi laut biru membiru. Pada bagian barat jalan setapak itu, tampak deretan bangunan, yang sepertinya dirancang untuk rumah tinggal, belum selesai digarap. Tampak dua orang pekerja, masih bekerja menyelesaikan puluhan bangunan yang halaman-halamannya mulai dijalari oleh rumput liar. Ketika sampai di puncak, hanya beberapa meter di sebelah selatan patung Warak, tampak sebuah gua yang tumbus ke bagian utara putung Warak, namun tak bisa dilalui, karena ditutup dengan kayu bekas dahan tumbuhan dan bambu. Gua itu, tepat di bawah patung warak. 
Dua buah tiang berdiri tegak di bagian belakang patung warak. Ada juga sebuah bangunan terbuka, mirip wantilan, tapi berukuran lebih kecil dan berbentuk memanjang. Mungki sekadar tempat berteduh, atau tempat sesaji dan banten, jika ada upacara agama. Sayang sekali, pada tubuh patung warak, terdapat banyak coretan-coretan, memberikan noda-noda pada keagungan masa silam. Dari sini, Balai Gili dan Bangunan Wantilan tampak kecil. Biru laut tanpa batas dan bukit menghijau tampak sebagai perpaduan alam yang sangat memesona.
Pemandangan itu, tak cukup lama bisa kami nikmati. Dengan berlari kecil kami menuruni tangga-tanga berlumut, yang ada di bagian utara patung Warak. Langit telah menjatuhkan titik-titik hujan, yang segera ditelan bumi. Memaksa kami untuk segera bergegas, mencari tempat teduh. Hanya ada satu jepretan terakhir dari kameraku, tepat ketika kami berada di bawah patung warak. Ternyata bukit ini cukup tinggi.

Komentar