Pasar Banyuasri



Menyiapkan tenda (Foto:dedi)
Umumnya, pasar tradisional buka pada pagi hari dan tutup atau setidaknya mulai sepi setelah pagi berlalu. Hal berbeda akan kita temui di pasar Banyu Asri, Singaraja, Bali. Layaknya pasar lain, pasar ini memang buka pada pagi hari. Namun, setelah sore kita akan temui lagi pasar yang tak kalah ramai dengan pasar pagi hanya tempatnya, kini, berpindah.
Penjual telur yang menata dagangannya (foto: dedi)
Lahan ber-aspal yang difungsikan sebagai terminal sejak pagi hingga sore, berubah menjadi pasar tradisional . Pukul 18.00 WITA, “prriiiiiittt… Prriiitttt”, suara peluit petugas menjadi tanda bahwa pasar boleh dibuka.Puluhan pedagang akan bergegas menyiapkan dagangannya. Saat itu berlangsung, pengunjung sebaiknya tidak mencoba untuk berbincang atau berdiri ditengah jalan. Umumnya, pedagang akan lebih “sensitif” pada saat itu.

 

Waktu yang dibutuhkan pedagang untuk menyiapkan barang dagangannya bervariasi bergantung pada jenis dagangan dan jumlahnya. Seorang pedagang, yang terlihan paling cepat menggelar dagangannya adalah seorang nenek penjual sayur. Nenek ini, menempati satu sudut pasar, yang bersebelahan dengan pedagang ikan laut dan telur. Yang dijualnya pada sore itu (4/12) hanyalah dua jenis sayur, yakni sayur hijau dan kacang panjang . Alasnya, meja yang warnanya telah tertup usia; tanpa atap. Sayur yang dijualnya, dibeli beberapa saat sebelum pasar buka dari pedagang yang lebih besar. 


Penjual sayur (sayur hijau dan kacang panjang (foto: dedi)
Nenek itu akan melalui malamnya di balik meja itu, setidaknya hingga pukul 06.00. Saat Saya bertanya tentang bagaimana dia tidur, Nenek itu menjawab “ Dini sing tidur. Siang mare tidur jumah (Di sini tidak tidur. Siang, tidur di rumah)”, ujarnya “ringan”,menggunakan bahasa Bali yang tercampur bahasa Indonesia.

Beberapa ratus meter dari pasar ini, terdapat minimarket yang menjual hal yang sama bahkan jauh lebih lengkap. Sayur-mayur, tahu-tempe serta daging disimpan dalam lemari es toko itu. Bumbu dapur disajikan dalam wadah yang membuatnya seperti asesoris, dan dalam jenis beragam hingga bumbu yang hanya kadang saya dengar pada siara memasak di televisi.

Harga lebih mahal di toko itu mungkin tak akan terlalu terasa  dengan pelayanan dan penyajian termasuk tas plastik "bermerek" toko itu. Yang kita nikmat akhirnya bukan sekadar produk yang dijual, namun citranya. Di sinilah dengan jelas pula tampak wajah kapitalisme yang kadang tak adil. Karena itu, keberpihakan pembeli sangat dibutuhkan. 





Komentar