Bulan Bahasa Kita

Cerita Menjalang Hari Bahasa

Ini hanyalah cerita tentang suatu pagi yang sama dengan pagi sebelumnya. Tapi saya ingin menjadikannya tak biasa. Kalau boleh berharap lebih, semoga menjadi pagi yang istimewa. Ini pagi terakhir perjumpaan seorang guru bahasa Indonesia, dengan sejumlah siswa yang mungkin lupa masa lalu sebelum akhirnya tanggal 28 Oktober berlalu.

Saya kuatir, mereka mengingat tanggal 28 hanya karena hari itu mereka tak belajar atau karena mereka jadi petugas upacara bendera. Saya menginginkan lebih dari itu. Mereka menyadari sesuatu dan melakukan sesuatu. Tak harus ada perintah. Tak harus ada hukuman. Tapi ada kesadaran.

Pagi itu, saya katakan, “Kita tak akan belajar seperti biasa hari ini. Setidaknya untuk satu jam pelajaran. Saya, akan bercerita. Bercerita untuk sebuah hari yang terlupakan. Sebuah hari yang menyimpan masalalunya untuk dirinya sendiri.“

Tak ada perayaan untuk hari itu. Celakanya, tak ada perayaan diartikan tak penting. Anggapan tak penting inilah yang menjadikannya tak bermakna. Dengan perayaanpun belum tentu makna itu termaknai, apalagi tidak? Saya hanya merayakan secara kecil-kecilan hari itu, dengan cara yang mungkin dilakukan. Bercerita. Hanya itu.

Mereka sedikitr bersorak. Beberapa diantaranya, terlihat mengepalkan tangan, kemudian dengan cepat menarik siku kebelakang sembari berkata yes. Yang jelas, semua senang. Apakah mereka haus cerita? Tak suka belajar? Jenuh? Entahlah, saya sudah berkomitmen harus ada perayaan kecil sebelum tanggal 28 Oktober nanti.

Sempat saya bingung, memulai dari mana. Saya juga tak ingin mengambil hak guru sejarah. Saya teringat, suatu hari sempat saya membaca di sebuah surat kabar tentang ujian Nasional bahasa Indonesia. Ketidak lulusan karana bahasa Indonesia kecil, namun rata-rata nilainya lebih kecil ketimbang pelajaran lain, bahkan bahasa asing. Tidakkah ini hal aneh? Eh, itu pertanyaan yang keliru. Tentu bukan hal aneh lagi. Kan udah tradisi. Tapi, tidakkah ada yang salah dengan pembelajaran bahasa Indonesia? Mari kita biarkan saja pertanyaan itu. Jangan dibahas, setidaknya untuk sekarang.

Saya juga ingat, pada hari lain, saya membaca bahwa masalah siswa dalam menjawab soal-soal ujian nasional bahasa Indonesia adalah siswa malas membaca soalnya. Kalau membaca saja malas, apalagi memikirkannya. Ini jadi masalah lain lagi.

Akhirnya saya rayakan kedatangan 28 Oktober dengan promosi membaca. Saya tak menyampaikan satu pun teori membaca. Hanya pengalaman-pengalaman pribadi dan teman tentang membaca. Tentang bacaan yang mengubah pandangan, sekaligus hidup. Tentang bacaan yang mengubah tradisi verbal-khususnya ngerumpi- menjadi tradisi membaca. Tentang membaca yang mecerdaskan, dan membaca yang meningkatkan percaya diri.

Saya juga menghubungkan budaya membaca dengan peningkatan kemampuan yang mungkin diperoleh untuk menjawab soal-soal ujian nasional khususnya untuk bahasa Indonesia. Setidaknya, itu adalah motivasi pragmatis bagi siswa.

Keesokan harinya, Sabtu, 25 Oktober, beberapa siswa yang saya temui bercerita tentang buku-buku baru mereka. Ada yang sudah membeli lima buku untuk dibaca. Ada yang sedang membaca setengah buku Gde Prama. Ada yang membaca tentang virus komputer, novel, bahkan cinta dan remaja.

Yang penting, membaca tak lagi jadi beban, tapi kebutuhan. Dengan membaca, mereka mengakrabi bahasa Indonesia yang lebih baik dan lebih benar daripada bahasa Indonesia yang mereka dengar dari sinetron atau rumpian mereka di waktu senggang. Dengan cara inilah peringatan 28 Oktober kami rayakan. [I D.G. Budi Utama/ Guru Bahasa Indonesia)

Komentar