SEKOLAHKU, PENJARAKU?
Beberapa orang pelajar SMA ditangkap aparat kecamatan karena ditengarai bolos pada jam sekolah. Setelah ditangkap, pelajar-pelajar itu diberi pembinaan di kantor camat, dengan harapan, kejadian serupa tidak diulangi lagi. Pihak kecamatan juga akan memanggil kepala sekolah siswa bersangkutan. Demikian berita yang disiarkan sebuah TV swasta.

Sekolah yang membosankan

Peristiwa membolosnya beberapa orang siswa tersebut sepertinya tidak sesederhana yang nampak. Tentu saja ada prinsip kausalitas di dalamnya. Hanya saja kita terlampau jarang memikirkannya. Begitu mendengar ada anak yang membolos, begitu saja anak itu akan di cap sebagai pembangkang, tidak tahu norma, pasti tidak akan jadi “orang” dan rangkaian stigma lain pun akan otomatis menempel pada anak tersebut. Hampir bisa dipastikan, akan sangat sedikit orang yang mempertanyakan, mengapa anak-anak itu membolos dan lebih memilih berjalan-jalan ke mall atau sekadar berkumpul dengan teman-temannya.
Peristiwa membolos itu hanya sedikit asap dalam dunia pendidikan kita. Namun sedikit asap saja sudah cukup untuk membuat kita sesak. Jika kita ingat-ingat lagi tentang genk-genk pelajar yang menyakiti sesama pelajar, atau tawuran, mencontek ketika ulangan dan pemukulan pelajar terhadap guru dan sebaliknya, kita tak akan bisa “bernafas” dibuatnya. Agar tak sampai sesak nafas, barangkali yang terpenting kita temukan adalah titik apinya, sumber masalahnya.
Sangat mudah kita menemukan siswa yang bersorak ketika gurunya tidak masuk, bahkan mungkin dengan alasan apapun, sakit misalnya. Suasana sekolah tiba-tiba seperti suasana keramaian stadion sepak bola pada sebuah pertandingan final, ketika guru mengumumkan ada libur. Tidakkah ini bukti, yang saya pikir lebih dari cukup untuk menyadari bahwa sangat sedikit siswa yang merindukan sekolah? Dengan kata lain, sangat sedikit pula siswa yang memahami dan menghayati tujuan mulia sekolah.
Kita menyadari bahwa seringkali guru sebagai ujung tombak sekolah memanfaatkan otoritasnya dalam mengkondisikan pembelajaran sekaligus pengalaman-pengalaman yang harus dilalui siswa. A.S. Neill (pendiri Sekolah Summerhill) percaya bahwa “mewajibkan apapun lewat otoritas merupakan kesalahan”. Realitas yang sering kita temui, justru otoritaslah yang menentukan banyak hal. Baik tidaknya seorang siswa tergantung pada seberapa tunduk dirinya pada otoritas yang ada. Dengan cara itulah kemudian tercipta pribadi-pribadi yang berbakat menjadi bawahan yang baik, namun bukan pribadi yang mampu bertanggung jawab atas dirinya sendiri, mengambil risiko dan selalu dinamis.
Saya hanya membayangkan, setelah kepala sekolah dipanggil oleh aparat kecamatan untuk mempertanggungjawabkan perbuatan siswanya, pasti para siswa juga akan dipanggil kepala sekolah. Setidaknya mereka akan ditegur, bahkan sangat mungkin dihukum.
Dengan adanya acara panggil memanggil itu, secara birokratis masalah tampak bisa diselesaikan. Tapi sama sekali tak ada jaminan bahwa siswa bersangkutan tak akan mengulanginya. Untuk memastikan bahwa siswa tak membolos lagi, sekolah sering kali memberikan sangsi yang berat seperti tidak naik kelas atau dikeluarkan dari sekolah. Tak ada pilihan lain bagi siswa kecuali mengikuti aturan yang dibuat sekolah tapi dianggap sebagai kesepakatan tanpa pernah ditanya apakah dia sepakat atau tidak. Kecil sekali kemungkinan kepala sekolah akan bertanya, “Apakah sekolah ini kurang menyenangkan buat kamu?”, “Apa saranmu agar sekolah ini menjadi lebih menyenangkan sebagai tempat belajar?”. Seandainya pertanyaan itu diajukan, tentu, jawaban yang dibutuhkan bukan sekadar tunduk diam, atau gelengan kepala, melainkan rangkaian kalimat yang diungkapkan tanpa beban, sebagai ekspresi kejujuran. Tidak ada lagi ketaatan didasari ketakutan atas hukuman karena itu hanyalah bentuk ketaatan yang diam-diam mencari celah-celah kebebasan yang bukan tidak mungkin terwujud dalam tindakan agresif dan sadis.

Sekolah yang Membahagiakan
Saya jadi teringat kisah dalam sebuah novel “Toto Chan; Gadis Cilik di Jendela”. Novel ini diangkat dari kisah nyata penulisnya,Tetsuko Kuroyanagi, yang ketika kecil dipanggil Toto Chan. Toto Chan terpaksa harus dikeluarkan dari sekolah dasar tempatnya belajar karena dianggap terlalu nakal oleh gurunya. Dia sangat suka membuka dan menutup laci meja di kelasnya, karena di rumah tak memiliki meja seperti itu. Kadang, dia juga memanggil pengamen jalanan untuk menyanyi di kelasnya. Aktivitasnya itu dianggap sudah keterlaluan oleh guru. Tidak ada pilihan lain kecuali mengeluarkannya dari sekolah agar sekolah tersebut benar-benar aman. Akhirnya, ibu Toto Chan mencarikan sekolah baru untuknya, Tomoe Gakuen. Pertama datang ke sekolah itu Toto Chan langsung menunjukkan keceriaannya. Sekolah yang dia lihat bukanlah sekolah yang dia kenal selama ini, namun deretan gerbong kereta api sebagai kelasnya. Hal yang sangat menyenangkan baginya adalah tes dari kepala sekolah. Yang dimaksud tes bukanlah berlembar-lembar soal yang harus deselesaikan dalam waktu tertentu. Kepala sekolah hanya meminta, “Katakanlah apa yang ingin kamu ceritakan kepada saya?”. Akhirnya, Toto Chan bercerita selama 4 jam tentang berbagai hal. Selama itu juga kepala sekolah menyimak ceritanya dengan antusias, hingga akhirnya Toto Chan kehabisan cerita. Namun dia sangat puas, karena baru hari itu ada orang dewasa yang mau mendengarkannya, dan membuatnya merasa berarti. Toto Chan pun yakin, sekolah itu akan menjadi tempat yang menyenangkan baginya.
Suasana yang tak jauh berbeda juga tercipta di Summerhill, didirikan oleh Neill pada tahun 1921 di dekat London, Inggris. Pelajaran-pelajarannya boleh di pilih. Kalau anak boleh belajar, belajarlah dia; kalau tidak ingin belajar silakan saja. Kalau perlu, anak-anak boleh tidak sekolah. Jadwal dan pengaturan ada, tapi hanya berlaku untuk guru. Hal yang menarik adalah, anak-anak yang datang ke Summerhill sejak TK selalu hadir pada tiap jam pelajaran sampai besar. Tetapi murid-murid yang masuk ke Summerhill setelah terbiasa dengan model sekolah umumnya, berikrar tak akan pernah lagi menghadiri pelajaran-pelajaran kapan pun. Akan tetapi, mereka akhirnya sadar pentingnya sekolah dalam jangka waktu tertentu, tergantung tingkat kebenciannya terhadap sekolah. Yang paling lama adalah, tiga tahun penuh tidak sudi masuk kelas. Summerhill mungkin adalah sekolah terbahagia di dunia. Jarang ada yang merindukan rumah, tak ada yang melarikan diri, jarang terjadi perkelahian, sangat jarang juga anak yang menangis. “Anak yang bebas tak punya banyak persediaan rasa benci untuk ditumpahkan”, kata Neill.
Suatu ketika, anak-anak di lantai atas membuat keributan. Neill yang berada di lantai bawah merasa terganggu. Dia pun mendatangi kamar anak-anak itu. Ketika mendengar langkah orang yang datang, mereka diam. Mereka bersembunyi karena berpikir yang datang adalah petugas yang mengawasi jam tidur: teman mereka sendiri. Namun ketika mereka tahu yang datang adalah Neill, mereka ribut lagi. Neill tidak marah. Dia hanya menjelaskan, bahwa dia sedang butuh ketenangan, karena sedang menulis buku. Dalam sekejap, anak-anak sudah langsung memperlihatkan kepedulian mereka dan sepakat untuk berhenti memproduksi kebisingan. Tidak ada ketakutan di sana, yang ada hanya pengertian dan penghargaan kepada individu lain yang sama-sama memiliki kepentingan.

Pilih yang Mana?
Pendidikan adalah proses yang dinamis. Demikian pulalah seyogyanya kita menjalankannya. Tak berhenti mencari solusi atas setiap masalah, bukan menyembunyikannya, atau membuat masalah itu menjadi tradisi. Realitas bahwa cukup banyak siswa yang tidak menyukai sekolah adalah masalah. Solusinya, bukan memaksa mereka ke sekolah, melainkan membuat mereka merindukan sekolah. Semoga kita sedang berada dalam proses belajar itu.

Komentar