MULTIKULTIRALISME DALAM DUNIA PENDIDIKAN

Wacana multikulturalisme di Indonesia, sejauh ini, hanya terkesan sebagai wacana yang mengakui keberagaman budaya. Beraneka ragam budaya yang ada di Indonesia diakui memiliki posisi yang sama. Namun belakangan ini, hal yang kontradiktif justru terjadi. Kerusuhan dan pembunuhan atas nama SARA terjadi di beberapa daerah, hingga maraknya pendirian sekolah-sekolah yang kental dengan ideologi tertentu. Ada pula pemaksaan atas ideologi atau budaya tertentu kepada komunitas yang memiliki budaya berbeda. Realitas ini terkesan belum memperoleh penangananan yang cukup. Sehingga, ibarat musim kemarau yang dihapus oleh datangnya musim hujan, permasalah itu pun tertelan oleh masalah-masalah lain, masalah ekonomi misalnya. Jika hal seperti ini dibiarkan saja, niscaya, disintegrasi bangsa tinggal menunggu waktu saja. 

Politik dan Budaya 
Sikap seperti itu, tentu tak lepas dari pandangan kita terhadap multikulturalisme. Secara akademis, pendekatan multikultur dapat dibagi menjadi dua. Pertama, memandang multikulturalisme sebagai isu politik identitas budaya pinggiran terhadap yang dominan yang selama ini menguasainya melalui wacana. Yang kedua, multikulturalisme sebagai persoalan kemajemukan komunitas budaya dalam satu negara. Politik identitas muncul sebagai reaksi atas dominasi budaya tertentu. Politik identitas merupakan fenomena gerakan politik kontemporer yang mana masyarakat sekarang mulai menjangkau aktivitas politik mereka dengan bekerja dalam kelompok-kelompok kepentingan berdasarkan ras, gender, agama, etnis orientasi seksual dan lain sebagainya (Sarup Op.Cit:48). Gerakan politik identitas semacam inilah yang belakangan ini marak muncul di berbagai daerah. Dengan alasan adanya kebebasan dalam berserikat dan berkumpul, pemerintah tak mempermasalahkan hal ini tanpa adanya pembinaan dan pemantauan kegiatan yang dilakukan. Multikulturalisme sebagai persoalan kemajemukan komunitas kebudayaan menuntut negara menjaga jarak dengan persoalan budaya dan menjamin tiap komunitas budaya mengurus urusan kulturnya sendiri. Dalam konteks ini tak ada perbedaan hak antara kelompok minoritas dengan mayoritas. Kelompok minoritas bebas melakukan kegiatannya tanpa adanya tekanan dari kelompok mayoritas. Secara ideal, paham inilah yang dianut di Indonesia. Masing-masing komunitas budaya diakui memiliki kedudukan sejajar. Tak ada yang memiliki hak untuk mendominasi atau memaksakan kebudayaan dan keyakinannya kepada komunitas lain. Namun secara sembunyi-sembunyi tanpa mendapatkan cukup banyak perhatian dari pemerintah, muncul gerakan-gerakan berdasarkan politik identitas. Komunitas yang menjadi mayoritas berusaha memperluas dan memperkokoh kekuasaan, hingga pada domain kelompok minoritas. Pada saat yang sama kelompok minoritas berusaha menjaga dan mempertahankan eksistensinya, sehingga terjadilah “perang budaya dan identitas”. Dalam kondisi seperti itu, posisi kelompok minoritas sangat rentan dengan keputusan mayoritas. Terlebih di Indonesia yang pemerintahannya berdasarkan sistem perwakilan, suara kelompok minoritas tak akan banyak berpengaruh di tingkat pusat. Pemaksaan atas kebudayaan atau ideologi tertentu pun sangat dimungkinkan. Teori yang disampaikan Kautilya tentang ikan besar yang memakan ikan kecil (hukum ikan atau fish low), merupakan sebuah analogi yang tepat. Hal semacam ini, sebetulnya dapat dihindari dengan adanya pemahaman tentang multikulturalisme yang benar. Ketika pemahaman itu telah tercapai, multikulturalisme di Indonesia tak akan menjadi sekadar wacana pemanis bibir saja. Tentu saja dalam pencapaiannya, akan sangat sulit. Berbagai kondisi yang telah mapan dan menguntungkan budaya tertentu, sehingga memberikannya ruang untuk menguasai budaya minoritas, akan membuat kelompok tersebut tidak rela disejajarkan untuk kemudian memberikan ruang gerak yang sama kepada budaya lain. Diperlukan upaya keras dari pemerintah dalam menangani masalah ini. Waktu juga menjadi faktor yang tak kalah penting dalam mewujudkan multikulturalisme yang benar-benar ideal untuk semua kebudayaan.

Multikulturalisme dan Pendidikan
Perkembangan demokrasi di Indonesia yang berbuah desentralisasi dan otonomi daerah, jika tidak dikelola dengan baik sangat memungkinkan tumbuh suburnya sikap primordialisme, yang sekaligus menjadi ancaman bagi multikulturalisme yang didambakan bangsa Indonesia. Untuk itu, deperlukan adanya suatu upaya yang serius dan sistematis dalam memberikan wawasan dan kesadaran pentingnya pendekatan multikulturalisme untuk mencegah disintegrasi bangsa. Salah satu upaya yang dapat ditempuh untuk mewujudkan kesadaran itu adalah melalui jalur pendidikan. Pendidikan yang dimaksud tentu saja bukan sekadar pendidikan di sekolah formal yang miskin dialog dan anti perbedaan. Dengan menggunakan pedekatan multikultur, dimana seseorang mengembangkan kompetensi dalam beberapa sistem standar (kebudayaan) untuk memepersepsi, mengevaluasi, meyakini, dan melakukan tindakan, peserta didik tidak hanya akan mengetahui satu budaya saja. Selain mempelajari budayanya sendiri, mereka juga akan diperkenalkan dengan budaya-budaya lain, sehingga tidak muncul chauvinisme pada budayanya sendiri. Dalam proses perkenalan dengan budaya-budaya lain itu, perlu ditekankan pencarian atas persamaan dan perbedaan serta nilai yang terkandung didalamnya, sehingga tidak ada anggapan budaya yang seperior dan imperior. Pada dasarnya semua kebudayaan mengandung nilai-nilai luhur, yang diyakini oleh komunitas penganut budaya tersebut.  

Multikultur dan Agama
 Keberadaan budaya mungkin dilandasi oleh ajaran agama tertentu. Karena mengandung nilai-nilai agama, kebenaran budaya tersebut tentu tidak dapat ditawar-tawar lagi. Masalah yang muncul kemudian adalah ketika ada kebudayaan tertentu yang justru bertentang dengan kebudayaan lain. Karena sama-sama bersumber dari ajaran agama, tentu masing-masing kebudayaan memiliki kebenarannya sendiri. Disinilah penyadaran multikulturalisme menemui hambatan terbesarnya. Komunitas budaya tertentu yang melakukan persembahan kepada tumbuh-tumbuhan, misalnya. Oleh budaya lain dianggap tidak benar, dan tidak sesuai dengan sumber nilai budayanya, yaitu agama. Tapi bagi pelakunya, dianggap memiliki kebenaran, yang selaras dengan ajaran agama, yang mereka anut. Tentu sangat sulit mencari sinergi, atau kebenaran tertinggi dan mutlak dalam kasus ini. Itu hanya salah satu contoh yang sering kita jumpai ditengah keberagaman budaya yang ada di Indonesia.

Peran Pemerintah 
Dalam upaya mewujudkan multikulturalisme ideal, peran pemerintah sebagai pemegang kebijakan tertinggi tentu sangat besar. Di tengah keberagaman budaya yang memiliki kebenarannya sendiri, pemerintah harus mampu bertindak secara objektif dan tidak memihak pada komunitas tertentu. Mengingat pentingnya pemahaman tentang multikulturalisme, untuk mewujudkan sikap saling menghormati dan menghidari terjadinya politik identitas, langkah pertama yang penting untuk dilakukan adalah dengan menerapkan pendidikan dengan pendekatan multikulturalisme. Melalui pendekatan multikulturalisme dalam dunia pendidikan, akan terbentuk suatu pemahaman tentang kebudayaan dengan lebih menyeluruh, sehingga memungkinkan terjadinya interaksi antar budaya yang lebih sehat, terhindar dari rasa chauvinisme dan merendahkan budaya lain. Multikulturalisme mestinya menjadi prioritas utama di atas keyakinan komunitas tertentu, sehingga tidak akan ada pemaksaan dan penindasan pada suatu kebudayaan atau keyakinan. Ketika suatu keyakinan bertentangan, tak ada yang berhak untuk memaksakan keyakinannya itu pada komunitas lain. Di sinilah komitmen pada nasionalisme sangat dibutuhkan.

Komentar